Kerajaan
Galuh adalah suatu kerajaan Sunda
di pulau Jawa, yang wilayahnya terletak antara Sungai
Citarum di sebelah barat dan Sungai Ci
Serayu juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini
adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.[4][5][6]
Sejarah
mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu
naskah
berbahasa Sunda
yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai
Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi
selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya
di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.[7]
Saat
Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666
meninggal dunia pada tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Sri Maharaja Tarusbawa,
menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara.
Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh,
dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari
tahun 612),
memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah,
Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai
Citarum sebagai batasnya.
Kerajaan Kembar
Wretikandayun mempunyai
tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung), Rahiyang
Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh
tahun (612-702), Wretikandayun
diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya
menjadi resiguru.[8]
Dari Nay
Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan Purbasora. Akibat
tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret ke perbuatan
nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari istrinya, Dewi
Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha, Mandiminyak mempunyai
putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena lantas menikah, dan
mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut Sanjaya).
Kakuasaan
Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-709), kemudian
diteruskan oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja,
Demunawan dan Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena (tahun 716). Akibat terusir,
Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di sebelah timur, dan menikah
dengan Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi Padmahariwangsa, raja Indraprahasta.[9]
Raja-raja Galuh
Raja-raja
yang pernah berkuasa di Galuh:
- Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)
- Mandiminyak atau Prabu Suraghana (702-709)
- Sanna atau Séna/Sannaha (709-716)
- Purbasora (716-723)
- Rakeyan Jambri/Sanjaya, Rakai Mataram/Harisdarma (723-732); Galuh bersatu dengan Sunda
- Tamperan Barmawijaya (732-739)
- Sang Manarah (739-746)
- Rakeyan ri Medang (746-753)
- Rakeyan Diwus (753-777)
- Rakeyan Wuwus (777-849)
- Sang Hujung Carian (849-852)
- Rakeyan Gendang (852-875)
- Dewa Sanghiyang (875-882)
- Prabu Sanghiyang (882-893)
- Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
- Sang Lumahing Winduraja (900-923)
- Sang Lumahing Kreta (923-1015)
- Sang Lumahing Winduraja (1015-1033)
- Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
- Sang Lumahing Taman (1183-1189)
- Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
- Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
- Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
- Aki Kolot (1229-1239)
- Prabu Maharaja (1239-1246)
- Prabu Bunisora (1357-1371)
- Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
- Dewa Niskala (1475-1483)
- Ningratwangi (1483-1502)
- Jayaningrat (1502-1528)
- maharaja cipta sanghyang di galuh ( 1528-1595 )
Atau menurut
Naskah Wangsakerta daftar lengkap raja-raja yang bertahta di Kerajaan Galuh
antara lain:
- Sang Wretikandayun (534-592) Saka (S)/ (612/3-670/1) M (Masehi) sebagai Raja Galuh.
- Sang Mandiminyak/ Suraghana (624-631) Saka/ (702/3-709/10) M.
- Sang Senna atau Sanna, 631-638 Saka/ (709/10-716/7) M.
- Sang Purbasura (638-645) Saka/ (716/7-723/4) M.
- Sang Sanjaya, Rakai Mataram (645-654) Saka/ (723/4-732/3) M, sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Sang Tamperan (654-661) Saka/ (732/3-739/40) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Sang Manarah (661-705) Saka/ (740-784), sebagai penguasa Galuh.
- Sang Manisri (705-721) Saka/ (783/4-799/800) Masehi sebagai raja Galuh.
- Sang Tariwulan (721-728) Saka/ (799/800-806/7) sebagai raja Galuh.
- Sang Welengsa (728-735) Saka (806/7-813/4) M sebagai raja Galuh.
- Prabhu Linggabhumi (735-774) Saka/ (813/4-852/3) M sebagai raja Galuh.
- Danghyang Guru Wisuddha (774-842) Saka/ (852/ 3-920/1) M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Jayadrata (843-871) S/ (921/2-949/50 M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Harimurtti (871-888) S/ (949/50-966/7) M.
- Prabhu Yuddhanagara (888-910) S/ (966/7-988/9) M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Linggasakti (910-934) S/ (988/9-1012/3) M sebagai ratu Galuh.
- Resiguru Dharmmasatyadewa (934-949) S (1012/3-1027/8) M sebagai raja Galuh.
- Prabhu Arya Tunggalningrat (987-1013) S/ (1065/6-1091/2) M sebagai raja wilayah Galuh.
- Resiguru Bhatara Hyang Purnawijaya (1013-1033) S/ (1091-1111) M sebagai ratu Galuh.
- Bhatari Hyang Janawati (1033-1074) S/ (1111/2-1152/3) M sebagai ratu Galuh dengan ibukota Galunggung.
- Prabhu Dharmmakusuma (1074-1079) S/ (1152/3-1157/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
- Prabu Guru Darmasiksa (1097-1219) S/ (1157/8-1297/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
- Rakeyan Saunggalah (1109-1219) S/ (1167/8-1297/8) M sebagai ratu Galuh, (1219-1225) S/ (1297/8-1303/4) M menjadi Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Citragandha (1225-1233) S/ (1303/4¬-1311/2) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Linggadewata (1233-1255) S/ (1311/2-1333/4) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Ajiguna (1255-1262) S/ (1333/4-1340/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Ragamulya (1262-1272) S/ (1340/1¬-1350/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Linggabhuwana (1272-1279) S/ (1350/1-1357/8 M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Mangkubhumi Suradhipati (1279-1293) S/ (1357/8-1371/2) M, Maharaja Galuh dan Sunda .
- Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1293-1397) S/ (1371/2¬-1475/6), penguasa Galuh dan Sunda.
- Dewa Niskala atau Ningrat Kancana (1397-1404) S/ (1475/6-1482/3 M, sebagai raja Galuh.
- Prabhu Ningratwangi (1404-1423) S/ (1482/3-1501/2) M, sebagai ratu Galuh mewakili kakaknya, Sri Baduga Maharaja penguasa Galuh dan Sunda.
- Prabhu Jayaningrat (1423-1450) S/ (1501/2-1528/9) M Prabhu Jayaningrat bukan ratu Galuh terakhir, dan kerajaan Galuh tidak ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon namun Kawali tidak jadi pusat Kerajaan Galuh tapi berpindah ke Galuh Salawe Pangauban di Cimaragas, Ciamis.
- Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh Salawe ( 1528-1595 ) di Cimaragas, Ciamis. Masa Kerajaan Galuh berakhir di jaman Mataram 1595 saat itulah raja raja di seluruh pulau Jawa termasuk galuh di turunkan statusnya menjadi kebupatian oleh Mataram. [10]. [11]
- Prabu Cipta Permana (1595-1618) M raja Kerajaan Galuh terakhir? Dapat pula dilihat dalam Daftar Bupati Ciamis dimana Adipati Panaekan (1618 - 1625) M sebagai bupati Galuh pertama (Kerajaan Galuh jadi Kabupaten Galuh sampai tahun 1914) atau Ciamis (nama Kabupaten Ciamis sejak 1916 zaman bupati Aria Sastrawinata yang menjabat tahun 1914 - 1935). [12]. [13]
Kisah klasik Sang Manarah Baginda Maharaja Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana (Ciung Wanara)
Galuh Kawali sepeninggal Prabu Jayaningrat
Sepeninggal
Prabu Jayaningrat, penguasa Galuh Kawali dalam
pengaruh Cirebon:
- Pangeran Dungkut (lungkut) (1528 - 1575 M) putra Lanangbuana, raja kuningan menjadi penguasa Galuh Kawali pengganti Jayaningrat.
- Pangeran Bangsit (1575-1592 M) disebut juga Mas Palembang putra Pangeran Dungkrut.
- Pangeran Mahadikusumah/Apun di Anjung (1592 M) putra Pangeran Bangsit.
- Pangeran Usman (1643) menikahi putri Pangeran Mahadikusumah dan ia yang pertama dimakamkan di situs kawali.
- Dalem Adipati Singacala (1643-1718 M) putra Adidempul Cicit pangeran Bangsit, menikahi Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman. [14]
Sementara di
wilayah Galuh lain yaitu Galuh Pangauban (Ciamis Selatan). Nama Galuh
muncul lagi yang ingin menjadi Ratu Galuh yang menguasai kerajaan kecil
(semacam kandaga lante) tempat Pangauban (perlindungan). Terletak antara
Cipamali dan Cisanggarung lalu ke daearah aliran Sungai Citanduy. Kerajaan
Galuh yang dirancang oleh Pucuk Umum (Pangauban) dibangun oleh Kamalarang dibantu
oleh masyarakat Pakidulan yang tempatnya di tengah hutan berjarak dari laut
sepenyirihan (kurang lebih 5 km) luasnya kurang lebih 100 depa persegi (sekitar
1,2 m). [15]
Sekelilingnya
dipagar tanaman Haur Kuning yang berduri, sebelah Utara dibuat alun-alun yang
luasnya 50 depa persegi, di sebelah Selatan ada tanah kosong seluas 50 deupa
persegi. Bangunan keratonnya sangat sederhana tenggaranya didirikan tujuh rumah
untuk para menteri dan pegawai negara yang penting. Di sekitar rumpun haur
dikelilingi oleh perumahan rakyat yang setia sebanyak 100 orang ditambah oleh
rakyat Bagolo serta Kamulyan Maratama, Maradua, dan Maratiga yang setia kepada
Prabu Haur Kuning dalam membangun pusat Galuh Pangauban. [16]
Pada tahun
1516 M Pucuk Umum (Pangauban) karena simpati kepada Islam dan ajarannya pernah
memimpin pasukan ke Malaka membantu Patih Yunus dari Kesultanan
Demak atas perintah Raden Patah. Tapi Pucuk Umum tidak mau diangkat menjadi
pimpinan Islam karena alasannya harus menyerang kerajaan Pajajaran sedangkan
Pajajaran itu adalah eyangnya, akhirnya Pucuk Umum dibuang ke Ujung Kulon
bersama istrinya. [17]
Prabu Haur
Kuning (1535 – 1580 M) putra Pucuk Umum (Pangauban). Maharaja Cipta Sanghiang
(1580 – 1595 M ) putra Prabu Haur Kuning yang menjadi raja Galuh Gara Tengah
dengan Gelar Maharaja Prabu Cipta Sanghyang Permana dan termasuk Raja
Galuh terakhir yang beragama Hindu jasadnya dilarung di Ciputrapinggan sekarang
adalah desa Putrapinggan, Kalipucang,
Pangandaran. Prabu Cipta Permana (1595 – 1618 M) Ratu Galuh yang pertama
masuk Islam karena menikahi Tanduran Tanjung putri Maharaja Mahadikusumah,
penguasa Cirebon di Galuh Kawali.
Sebelum
tahun 1596 M
Cirebon belum terikat oleh Mataram bahkan daerah Ciamis Utara yang dimaksud
utara Citanduy ada di bawah kekuasaan Cirebon
termasuk Panjalu, Ciamis. Pada tahun 1618, Mataram
menguasai Galuh dimulai pergantian gelar Raja yang tadinya bergelar Ratu atu
Sanghyang dengan gelar Adipati yaitu bupati di bawah kekuasaan Mataram. [18]
Wilayah Galuh pada Masa Hindia Belanda
Kabupaten Galuh Ciamis, kejayaan zaman Kangjeng Prabu
Kangjeng
Prabu sebagai bupati Galuh yang keenambelas ini paling ternama. Ia mempunyai
ilmu yang tinggi dan merupakan bupati pertama di wilayah itu yang bisa membaca
huruf latin. Memerintah dengan adil disertai dengan kecintaannya pada rakyat.
Empat puluh tujuh tahun lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat memimpin
Galuh Ciamis (1839-1886).
Pemerintah
kolonial saat itu sedang menjalankan Tanam
Paksa. Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun 1677 sudah
dilaksanakan juga apa yang disebut Preangerstelsel atau sistem Priangan
yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai sekarang terabadikan dalam lagu
yang berurai air mata yang bunyinya "Dengkleung dengdek, buah kopi
raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan", gambaran
seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja
dalam tanam paksa. Dari Preangerstelsel, di tempat lain dimekarkan
menjadi Culturstelsel. Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi
kopi yang dipaksa harus ditanam olah rakyat, tapi juga nila. Proyek nila ini
menimbulkan insiden Van Pabst
yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.
Awal Mula Adanya Perkebunan Kelapa di Galuh
Sungai
Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Tentu saja
Kangjeng Prabu bersedih hati dan prihatin menyaksikan rakyatnya dipaksa harus
menanam kopi dan nila, sementara hasilnya diambil oleh Belanda.
Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja,
meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus kebun kopi
dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran tembang sedih Dengkleung
Dengdek. Tertulis dalam majalah Mangle, almarhum Kang Pepe Syafe'i
R. A. diminta berceritera saat bersantai di perkebunan Sineumbra di Bandung
selatan. Saat itu administratur Mangle adalah Max Salhuteru yang penuh
perhatian pada kehidupan budaya tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk
menceriterakan sejarah lahirnya tembang dramatis Deungkleung Dengdek
oleh administratur itu.
Kangjeng
prabu sendiri menangis dalam hati, tidak tega menyaksikan rakyat tersiksa oleh
pemerintah kolonial. Untuk mengurangi nestapa rakyat, agar selama bekerja tanam
paksa tidak sampai perasaan kehilangan kerabat itu mengharu biru setiap waktu,
dilakukanlah pembangunan berupa pembuatan beberapa saluran air dan bendungan,
yang sekarang disebut saluran tersier dan sekunder termasuk dam yang kokoh.
Sampai kini masih ada saluran air Garawangi yang dibangun tahun 1839, Cikatomas
tahun 1842,
Tanjungmanggu yang lebih terkenal dengan sebutan Nagawiru (berarti Naga
biru) dibangun tahun 1843,
dan saluran air Wangunreja tahun 1862.
Selanjutnya
bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur sebelum berbakti
pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun kelapa di berbagai
tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki saat seserahan
diwajibkan untuk membawa tunas kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di
halaman rumah tempat mereka mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.
Dari zaman
Kangjeng prabu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur, dengan
produksinya yang menumpuk (ngahunyud) di setiap pelosok kampung. Dalam
waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor menjadi gudang kelapa paling makmur di
Priangan timur. Banyak pabrik minyak kelapa didirikan oleh para pengusaha,
terutama Cina. Yang paling tersohor adalah Gwan Hien, yang oleh lidah
orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di Pawarang yang
terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa bom saat Galuh
dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian juga yang lainnya.
Saat ini, minyak kelapa terdesak oleh minyak kelapa sawit dan minyak goreng
jenis lainnya.
Pembangunan Sekolah Sunda
Raden Aria
Koesoemadininggrat, regent (bupati) Galuh (1879)
Dari tahun 1853 Kangjeng prabu
tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari kayu Jati yang kokoh. Luas lahan
tempat keraton itu berdiri adalah satu hektare, dengan kolam ikan, air mancur,
dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian lain dari keraton, ada kaputren,
tempat para putri Bupati. Di komplek keraton juga ada mesjid. Tahun 1872 di komplek
keraton ini dibangun Jambansari dan pemakaman keluarga Bupati. Di sebelah timur
pemakaman ada situ yang sangat dikeramatkan. Dulu tidak ada yang berani
melanggarnya, orang Galuh percaya air situ itu mengandung khasiat seperti yang
dituliskan oleh Kangjeng prabu dalam guguritan yang dibuatnya, "Jamban
tinakdir Yang Agung, caina tamba panyakit, amal jariah kaula, bupati Galuh
Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning." Artinya
kurang lebih, "Jamban takdir dari Yang Agung, airnya penyembuh penyakit,
amal jariah saya, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng
kuning."
Menurut para
menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng prabu, zaman dulu guguritan
yang disusun dalam pupuh Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak sekolah
rakyat. Selain bangunan untuk kepentingan keluarga Bupati, Kanjeng prabu juga
membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana lainnya. Antara tahun 1859 sampai 1877 pembangunan
berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung pemerintahan
kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang, menghadap utara. Lantas
gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang menjadi gedung negara atau gedung
kabupaten, sekaligus tempat tinggal Bupati sekeluarga. Bangunan lainnya adalah
markas militer, rumah pemasyarakatan, mesjid agung, gedung kantor telepon.
Tampaknya
Kangjeng prabu sama sekali tidak melupakan satu pun kepentingan masyarakat.
Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir berbahasa
Perancis ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati,
sengaja dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor
kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa
Belanda. Tahun 1862,
Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda
yang kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di
Tatar Sunda.
Dalam upaya
menyebarkan agama Islam,
Kangjeng prabu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama dalam upaya
menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan sesembahan
berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng prabu sengaja suka mengadakan
silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta masyarakat.
Dalam
kumpulan seperti itulah ia mengajak rakyatnya supaya mereka setiap akan pergi
ke pengajian dan perkumpulan, membawa arca yang ada di rumahnya masing-masing.
"Kita satukan dengan arca kepunyaan saya," katanya. Rakyat setuju
saja diminta membawa arca seperti itu dan dengan jujur mengakui bahwa di
rumahnya memiliki arca. Dengan demikian, tanpa memakan waktu yang lama, sudah
tidak ada lagi arca yang disimpan di rumah-rumah rakyat. Masyarakat beribadah
dengan sungguh-sungguh memuji keagungan Allah. Islam mekar memancar seputaran
Galuh. Sementara arca-arca yang dikumpulkan rakyat, ditumpuk begitu saja di
Jambansari. Sekelilingnya ditanami pepohonan yang rimbun. Itu sebabnya sampai
sekarang banyak arca di pemakaman Kangjeng prabu di Selagangga.
Kangjeng
prabu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca aksara latin,
juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang berkembang di
masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng prabu juga menguasai makhluk gaib yang di
Ciamis terkenal disebut onom. Tahun 1861, jalan kereta
api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, dari Tasikmalaya ke
Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai Yogyakarta. Kangjeng prabu segera
mengajukan permohonan, supaya jalan kereta api bisa melewati kota Galuh, pusat
kabupaten, dan bukannya melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya pembuatannya
memang jadi membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di Cirahong dan
Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima permohonan itu. Walaupun stasiun
yang dibangun Belanda kini sudah tua, tapi Ciamis sampai kini dilewati jalan
kereta api, di antaranya kereta api Galuh.
Tahun 1886 Kangjeng prabu lengser
kaprabon, jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati
Aria Kusumasubrata. Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng prabu tidak hanya
mengaso sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus berbenah
dan membangun Galuh Ciamis. Masih pada zamannya berkuasa, Undang-undang Agraria
mulai dipakai, tepatnya tahun 1870. Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta,
di antaranya Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, Damarcaang,
dan Sindangrasa.
Tahun 1915 Kabupaten Galuh
secara resmi masuk ke Karesidenan Priangan, dan sebutannya menjadi Kabupaten
Ciamis. Tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dibagi menjadi lima karesidenan,
18 Kabupaten
dan enam kotapraja.
Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.
Di lokasi
keraton Selagangga, Kangjeng prabu juga membuat mesjid megah. Orang yang
dipercayai untuk mengurus dan menghidupkannya adalah Haji Abdul Karim. Untuk
pemekaran agama Islam, Bupati Galuh memerintahkan para Kepala Desa supaya di
tiap desanya didirikan mesjid, selain untuk ibadah secara umum, juga untuk
anak-anak dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk membangun
mental spiritual masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai dikunjungi para
remaja.
Peninggalan Kangjeng Prabu
Namun kini
yang ada hanya tinggal makam keluarga dan Jambansari yang tinggal secuil. Situ
yang dulu ada di sebelah barat telah tiada bekasnya barang sedikitpun. Padahal
dulu ada dua situ, di sebelah barat dan timur. Sekarang sudah berubah menjadi
perkampungan. Tanah yang dulu menjadi milik anak dan cucu Christiaan Snouck Hurgronje, sebelah
timur tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.
Pemakaman
Kangjeng prabu sampai sekarang masih diurus dan dipelihara oleh Yayasan yang
dipimpin oleh Toyo Djayakusuma. Sementara waktu ke belakang, sempat telantar
kurang terurus karena tiadanya biaya. Jambansari hampir hilang terkubur
ilalang. Maka didatangilah rumah keluarga Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia di Jakarta yang saat itu dijabat Ir. Radinal Muchtar. Oleh
keluarga itu kemudian dilakukan pembenahan dan perbaikan serta diangkat lagi
martabatnya. Kebetulan isteri dari Radinal masih menak Galuh Ciamis, keturunan
Kangjeng prabu. Jadi masih merasa perlu bertanggungjawab untuk memelihara
pemakanam dan komplek Jambansari yang oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan.
Ada yang
sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama yang
bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan
Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan K.H. Ahmad
Dahlan mengikuti nama pimpinan Muhammadiyah.
Oleh sebab itu orang Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ ada
peninggalan Kangjeng prabu yang dirasa telah besar jasanya dalam sejarah Galuh
Ciamis. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan, mereka meminta bupati
untuk mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk mengenang Kanjeng prabu yang
memiliki keraton di tempat itu, memimpin Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya
juga di pemakaman Sirnayasa (Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat
adanya alasan yang bisa diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.
Peninggalah Kerajaan Galuh
Keberadaan
Kerajaan Galuh diketahui melalui sumber-sumber sejarah baik yang berupa
prasasti, candi maupun artefak lainnya.
Prasasti dari masa Kerajaan Galuh
Kepurbakalaan peninggalan Kerajaan Galuh
No.
|
Kawasan
|
Situs
|
Artefak
|
Koordinat
|
1.
|
Gunung
Tampomas (Cimalaka)
|
108°05’BT,
06°47’LS, ±1020m dpl
|
||
Teras
Berundak
|
108°05’BT,
06°53’LS, ±230m dpl
|
|||
Astana Cipeueut
(Darmaraja)
|
Teras
berundak
|
108°05’BT,
06°53’LS, ±230m dpl
|
||
2.
|
Cangkuan (Pulo-Leles)
|
Struktur
bangunan
|
107°55’BT,
07°06’LS, ±704m dpl
|
|
Teras
Berundak (di 8 bukit)
|
107°57’BT,
07°07’LS, ±702m dpl
|
|||
Pasir Lulumpang (13
teras)
|
||||
Pasir Kiarapayung (10
teras)
|
||||
Pasir Tengah (15 teras)
|
||||
Pasir Kolecer (13 teras)
|
||||
Pasir Astaria (19 teras)
|
||||
Pasir Luhur (15 teras)
|
||||
Pasir Gintung (12 teras)
|
||||
Pasir Tunjung (19 teras)
|
||||
3.
|
struktur
bangunan
|
108°12’BT,
07°11’LS, ±420m dpl
|
||
Sisa
fondasi
|
||||
Batu
|
||||
4.
|
struktur
bangunan
|
108°39’BT,
07°34’LS, ±03m dpl
|
||
serakan
batu
|
108°32’
BT, 07°24’LS, ±43m dpl
|
|||
Stone-Cist
|
||||
struktur
batu
|
108°45’BT,
07°39’LS, ±50m dpl
|
|||
Arca yoni,
Nandi
|
||||
struktur
bangunan
|
108°29’BT,
07°24’LS, ±98m dpl
|
|||
Karang
Kamulyan (Cisaga)
|
108°29’BT,
07°21’LS, ±40m dpl
|
|||
Teras
berundak (5 teras)
|
108°16’BT,
07°17’LS, ±430m dpl
|
|||
Kawali
(Kawali)
|
Teras
berundak (5 teras)
|
108°23’BT,
07°11’LS, ±415m dpl
|
||
Prasasti
batu (6 prasasti)
|
||||
Sejumlah
besar menhir
|
||||
5.
|
Lapik persegi
|
108°30'
BT, 07° 03' LS, ± 310 m dpl
|
||
Yoni,
Lumpang
|
||||
Lapik
persegi
|
108°34'BT,
06° 57' LS, ± 303 m dpl
|
|||
Yoni, meja
batu (?)
|
||||
serakan
batu
|
108° 25'
BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl
|
|||
Lapik,
Yoni
|
||||
menhir
|
||||
Teras
berundak
|
108° 25'
BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl
|
Sumber: Wikipedia
No comments:
Post a Comment