Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Etimologi dan Toponimi
Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara.
Nagara artinya kerajaan atau negara sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai yang
membelah Jawa Barat yaitu Citarum. Pada muara Citarum ditemukan
percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya
dan Percandian Cibuaya
yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Taruma.[1]
Sumber Sejarah
Bila menilik
dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau
catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan
Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah
adalah Purnawarman. Pada tahun 417
ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali
Bekasi)[2] sepanjang 6112 tombak (sekitar
11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan
menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti
keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini
diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan dia
memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di
sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan
dari Kerajaan
Salakanagara.
Prasasti Yang Ditemukan
- Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
- Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
- Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiyang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
- Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
- Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
- Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
- Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung
Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan
sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi
pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih
digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh
pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti
pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan
perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara
Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara
tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang
digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir Muara
Di Bogor,
prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti
Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat
asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru
panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya
menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru
Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan
begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak
"sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih"
(angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka
atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun
ditemukan pada aliran Ci
Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981
diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman,
beraksara Palawa,
berbahasa Sanskerta.
Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah
purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang
seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang
termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu,
ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan
tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada
zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa
daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara
pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja
daerah) Pasir Muhara.
Prasasti Telapak Gajah
Dua arca
Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar abad ke-7
Masehi. Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni Khmer Kamboja.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang
telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya
hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah
jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa
Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut
mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang
dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I,
sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah
tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara
berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota
yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran
bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun
yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah
mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota
teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih
belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran
sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang
labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang
"bhramara" (lebah) sebagai cap pada
mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber
sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti
Ciaruteun.
Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti
lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak
Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka.
Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk
puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir
- asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara
fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham
bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada
tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah
Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya;
kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil
menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan
(kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya.
Sumber Berita Dari Luar Negeri
Sumber-sumber
dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.
- Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang sekarang terletak di taman purbakala Pugung Raharjo, meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa hien[butuh rujukan]
- Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.
- Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga
berita di atas para ahli[siapa?]
menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo
secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.
Maka
berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui
beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.
Kerajaan
Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan
prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah
Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi
hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan
Cirebon.
Kepurbakalaan Masa Tarumanagara
Candi Jiwa
di situs Percandian Batujaya
No.
|
Nama Situs
|
Artefak
|
Keterangan
|
1
|
Kampung
Muara
|
Menhir (3)
|
|
Batu dakon
(2)
|
|||
Arca batu
tidak berkepala
|
|||
Struktur
Batu kali
|
|||
Kuburan
(tua)
|
|||
2
|
Ciampea
|
Arca gajah
(batu)
|
Rusak
berat
|
3
|
Gunung
Cibodas
|
Arca
|
Terbuat
dari batu kapur
|
3 arca
berdiri
|
|||
arca
raksasa
|
|||
arca (?)
|
Fragmen
|
||
Arca dewa
|
|||
Arca
dwarapala
|
|||
Arca
brahma
|
Duduk
diatas angsa
(Wahana Hamsa) dilengkapi padmasana |
||
Arca
(berdiri)
|
Fragmen
kaki dan lapik
|
||
(Kartikeya?)
|
|||
Arca singa
(perunggu)
|
Mus.Nas.no.771
|
||
4
|
Tanjung
Barat
|
Arca siwa
(duduk) perunggu
|
Mus.Nas.no.514a
|
5
|
Tanjungpriok
|
Arca
Durga-Kali Batu granit
|
Mus.Nas.
no.296a
|
6
|
Tidak
diketahui
|
Arca
Rajaresi
|
Mus.Nas.no.6363
|
7
|
Cilincing
|
sejumlah
besar pecahan
|
settlement
pattern
|
8
|
Buni
|
perhiasan
emas dalam periuk
|
settlement
pattern
|
Tempayan
|
|||
Beliung
|
|||
Logam
perunggu
|
|||
Logam besi
|
|||
Gelang
kaca
|
|||
Manik-manik
batu dan kaca
|
|||
Tulang
belulang manusia
|
|||
Sejumlah
besar gerabah bentuk wadah
|
|||
9
|
Unur
(hunyur) sruktur bata
|
Percandian
|
|
Segaran I
|
|||
Segaran II
|
|||
Segaran
III
|
|||
Segaran IV
|
|||
Segaran V
|
|||
Segaran VI
|
|||
Talagajaya
I
|
|||
Talagajaya
II
|
|||
Talagajaya
III
|
|||
Talagajaya
IV
|
|||
Talagajaya
V
|
|||
Talagajaya
VI
|
|||
Talagajaya
VII
|
|||
10
|
Cibuaya
|
Arca Wisnu
I
|
|
Arca Wisnu
II
|
|||
Arca Wisnu
III
|
|||
Lmah Duwur
Wadon
|
Candi I
|
||
Lmah Duwur
Lanang
|
Candi II
|
||
Pipisan
batu
|
Naskah Wangsakerta
Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta.
Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang
meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.
Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358,
yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395).
Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang
ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397
yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura—pertama
kalinya nama "Sunda" digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun
tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M)
Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80
dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman
(515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali
kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap
Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama
sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti
Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya
menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum
jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja
Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda
atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber
Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan
musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah
kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II
sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman
terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di
daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di
Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas
kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang
memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota
Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti,
pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa
dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang
disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362
menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke
Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.
Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia
sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara
karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan
Magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik
ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk
mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke
daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu
Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung
dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di
ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya
mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan
12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir,
digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang
puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang
kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri
Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada
menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya
tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk
kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam
kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh
yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi
wilayah Tarumanagara.
Raja-Raja Tarumanagara Menurut Naskah Wangsakerta
Raja-Raja Tarumanegara
|
||
No
|
Raja
|
Masa Pemerintahan
|
1
|
||
2
|
||
3
|
||
4
|
||
5
|
||
6
|
||
7
|
||
8
|
||
9
|
||
10
|
||
11
|
||
12
|
Sumber: Wikipedia
No comments:
Post a Comment